
Salah satu fenomena yang terjadi dalam proses upacara keagamaan umat Hindu di Bali yang mengalami pergeseran adalah prosesi upacara mājar-ajar yang dilaksanakan di Pura Agung Besakih yang disadari atau tidak cendrung lebih singkat dan cepat, tetapi kurang mengacu pada teks-teks sastra agama.
Padahal prosesi yang semestinya dilakukan harus sesuai dengan acuan sastranya sebagaimana dimuat dalam ’’Lontar Ligia’’ yang menegaskan bahwa atma seseorang yang baru meninggal dunia masih dibungkus oleh suksema sarira yang terdiri atas panca tanmatra dan dasendria, triguna, cita, dan karma wesana, sehingga perlu dilaksanakan upacara pengabenan, yang kemudian dilanjutkan dengan upacara ngeroras/memukur.
Dalam’’Lontar Ligia’’ disebutkan bahwa setelah upacara memukur, roh/atma orang yang diupacarai disebut dewa pitara/dewa hyang (“yata awaning sang dewa pitara umungsi ana ring acintya bhuana’’). Dengan mengacu pada isi lontar tersebut dapat dipahami bahwa dalam keadaan demikian atma memerlukan upacara nuntun dewa hyang dan dalam tradisi masyarakat Bali disebut mājar-ajar. Sebagai rangkaian upacara mājar-ajar adalah nuntun dewa hyang/dewa pitara yang akan disethanakan sebagai Bhatara Guru di sanggah/merajan/paibon sesuai dengan tradisi keluarga masing-masing (http://v2.karangasemkab.go.id/index.php) (diakses tanggal 1 September 2022).
Sementara dalam kenyatannya banyak masyarakat Hindu di Bali, dalam melaksanakan prosesi mājar-ajar di Pura Agung Besakih kurang merujuk pada ajaran sastra yang dimuat dalam berberapa sumber tertulis, seperti lontar, purana, babad, dan yang lainya, melainkan hanya berdasarkan tradisi lisan yang diteruskan dari mulut ke mulut berdasarkan tradisi ”mule keto” (memang begitu).
Prosesi mājar-ajar yang selama ini biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali berdasarkan tradisi lisan adalah mulai dari Pura Dalem Puri kemudian menuju ke pedarman masing-masing dan terakhir di Pura Penataran Agung Besakih dan mepamit (balik ke rumah masing-masing). Padahal menurut sastranya masih ada beberapa pura yang seharusnya dilalui dalam prosesi mājar-ajar itu sendiri. Seperti disebutkan dalam Lontar ’’Padma Bhuwana’’ sebagai berikut.
Nihan katatwa ning pulo Bali, inggih sane kasiwi jumeneng dewa ring pulo Bali, manut kakecape saking bhasa Sanggrit, wantah mawit saking Padma Bhuwana, katatwa ning wahya dyatmika, sakala niskala, inggih kawentenane ring bhwana alit, katunggilang ring bhwanagung, sapunika purwa kandha ning pulo Baline sane rihin, katama kantos mangkin. Kawit duk Isaka 85, kala nira Sri Aji Candrabaya madeg ratu jumeneng ring Tampaksiring, irika wangun kahyangane ring Basukih, miwah cungkube ring Dalem Puri, puniki Pura ne kalih, maraga Puseh -/- miwah Dalem, panghulun jagate ring pulo Bali, Inggih sane kapralinggayang ring Kahyangan Bhasuki wantah Ida Sanghyang Anta Siwaditya Bapa Akasa, metu Ida saking panoaksara, aksaran Ida mungguh ring tengahing phadma-bhwana, wyakti ida, Yang piteges ipun, Yang Akasa. Inggih sane kpralinggayang ring Cungkub Dalem Puri, wantah Ida Sanghyang Basukih, Siwagni Ibhu Prathiwi, metu Ida saking Panca- brahma, aksaran ida mungguh ring tengahing Phadma-bhwana, wyakti Ida Ing, Ibhu Pratiwi. Inggih yan saking paglar Aksara Panca-brahma punika dados pradana tatwa Pancaksara punika, dados purusa tatwa. Punika hawinan Ida Bhatara kalih, kapralingga tungtung lawan bungkah, waluyan ipun Ida Bhatara Siwa muang Bhuda punika meraga tunggil wisesa ning jagat Baline (Salinan Lontar Padma Bhuwana Milik Grya Kanginan Sibetan Karangasem).
Artinya:
Ini adalah aturan di pulau Bali, yaitu yang dipuja dan berstana di pulau Bali sesuai dengan apa yang ada dalam sastra sansekerta yang berasal dari Padma Bhuana kesusastraan tentang pengetahuan utama sekala dan niskala, yaitu keberadaan di bhuana alit dan disatukan dengan bhuana agung alam semesta, seperti itulah aturan di Pulau Bali dari dulu yang diwarisi sampai sekarang. Dimulai tahun Isaka 85 saat itu Sri Aji Candra Baya sebagai raja dan berdiam di Tampaksiring, kemudian beliau membangun pura parahyangan di Basukih, dan cungkup di Dalem puri. Kedua pura tersebut merupakan Pura Puseh dan Dalem sebagai ulu atau puncak pulau Bali. Yang distanakan di Pura Basukian, yaitu Sanghyang Antasiwaditya atau Bapa Akasa, yang lahir dari panca aksara YANG, terdapat dalam inti ’’Padma Bhuana’’ yang memiliki arti Hyang Akasa. Kemudian yang distanakan di Cungkub Dalem Puri adalah Ida Sang Hyang Basuki Siwa Agni atau Ibu Pertiwi yang lahir dari Panca Brahma aksaranya terdapat di dalam Padma Bhuana, yaitu ING atau Ibu Pertiwi, kalau dari pagelaran aksara Panca Brahma itu menjadi pradana atau unsur feminim, dan panca aksara itu menjadi purusa tattwa atau unsur maskulin, itu sebabnya Ida Betara keduanya distanakan sebagai TUNGTUNG atau ujung dan BUNGKAH sebagai pangkal, awal dan ahir berasal dari-Nya dan berakhir atau kembali kepada-Nya, seperti Ida Betara Siwa dan Budha yang merupakan satu kesatuan yang tunggal dan esa.
Berdasarkan isi lontar ’’Padma Bhuwana’’ tersebut, sebenarnya dua Pura , yakni Pura Basukian yang dimanifestasikan sebagai Pura Puseh, yakni tempat bersthananya Ida Sanghyang Anta Siwaditya Bapa Akasa dan Pura Dalem Puri sebagai pura dalem, yakni tempat bersthananya Ida Sanghyang Basukih Siwagni Ibhu Prathiwi merupakan asal mula keberadaan pulau Bali. Oleh karena itu, jika mengacu pada isi lontar ’’Padma Bhuwana’’ di atas, maka Pura Basukian sebagai manifestasi dari pura puseh tempat bersthananya Ida Sanghyang Anta Siwaditya Bapa Akasa dan Pura Dalem Puri dalam manifestasinya sebagai pura dalem, yakni tempat bersthananya Ida Sanghyang Basukih Siwagni Ibhu Prathiwi dalam melaksanakan prosesi mājar-ajar tidak boleh dilewati. Sebab kedua pura ini adalah simbol dari tempat bersthananya ibu dan bapak, yakni dua tokoh dalam kehidupan di dunia ini yang harus selalu dihormati, sebab tanpa kedua tokoh tersebut (ayah dan ibu), kehidupan manusia di dunia ini tidak akan pernah ada (sangkan paraning dumadi).
Kemudian prosesi mājar-ajar merupakan simbol dari penyucian roh (atma) seseorang setelah prosesi ngaben, dan kemudian disthanakan di sanggah kemulan (sanggah rong telu) milik orang yang melakukan upacara mājar-ajar tersebut.
Dalam perspektif kebudayaan, penciptaan simbol merupakan suatu respons manusia terhadap chalenge, yakni situasi alam yang melingkupinya. Dalam konteks itu, Ernest Cassier sebagaimana dikutif Triguna (2011:7) menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang disebut animal symbolicum (binatang yang mengenal dan menggunakan simbol-simbol dalam kehidupannya).
Pandangannya ini bertolak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Uexkuel mengenai binatang. Dalam hasil penelitiannya tersebut Uexkuel mengatakan bahwa setiap organisme mutlak dicocokan dengan lingkungan atau struktur anatominya. Namun, dalam kenyataannya, apa yang diintroduksikan oleh Cassier tidak semua tindakan manusia bermuatan simbolis dalam bingkai kebudayaan. Akan tetapi hanya beberapa tindakan yang bersifat khusus dan seakan-akan mempertebal sifat-sifat tindakan manusia pada umumnya mengandung nilai simbolisme. Tindakan seorang manusia dapat dikatakan bersifat simbolisme, ketika tindakannya tersebut menampung simbol-simbol dari pranata tertentu, seperti pranata sosial, pranata agama, pranata kebudayaan, dan lain-lain.
Misalnya, dalam konteks pranata keagamaan, tindakan umat Hindu dalam prosesi menyucikan roh leluhurnya yang telah meninggal dunia dalam upacara mājar-ajar dapat dikategorisasikan sebagai tindakan simbolisme. Sebab apa yang dilakukan oleh umat Hindu dalam konteks upacara mājar-ajar merupakan salah satu tindakan manusia yang bersifat khusus dan seakan-akan mempertebal sifat-sifat tindakan manusia pada umumnya, yakni menguatkan pranata kehidupan keagamaan dalam rangka menyucikan roh leluhur, sebagai simbol rasa bhakti umat Hindu kepada leluhurnya setelah meninggal dunia. Namun, dalam pratiknya pelaksanaan upacara mājar-ajar masih menimbulkan banyak persepsi yang berbeda satu sama lainnya di kalangan masyarakat Hindu di Bali.
Misalnya, ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa prosesi upacara mājar-ajar cukup hanya dilakukan secara terpusat (ngubeng) dari Pura Dalem Puri saja, sehngga prosesi upacara di pura-pura lainnya, terkait prosesi mājar-ajar di Pura Agung Besakih tidak perlu dilakukan. Sementara ada pula sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa prosesi upacara mājar-ajar setelah melakukan prosesi nyegara gunung di Pura Goa Lawah, harus dilakukan di beberapa pura lainya, seperti di Pura Kahyangan Tiga setempat, kelompok Pura Lempuyang, Pura Dasar Buwana Gelgel, Pura Silayukti di Padang Bai, Pura Kawitan, dan kelompok Pura Besakih antara lain, Pura Dalem Puri, Pura Manik Mas, Pura Padarman masing-masing dan Pura Penataran Agung.
Adanya perbedaan penafsiran atas prosesi yang harus dijalani oleh umat Hindu dalam melakukan upacara mājar-ajar, salah satunya disebabkan oleh proses penerusan pengetahuan tentang prosesi upacara mājar-ajar ini dilakukan secara lisan dari mulut kemulut, sehingga hal ini berpotensi kurang lengkapnya informasi yang diterima dari generasi ke generasi berikutnya. Selain itu, sikap masyarakat yang cenderung bersifat pragmatis dan instan belakangan ini, juga bisa berpengaruh terhadap adanya perbedaan penafsiran mengenai prosesi upacara mājar-ajar di Pura Agung Besakih. Setidaknya buku ini berupaya untuk menjelaskan perihal tersebut.