Sarasastra

JUDUL BUKU:
SARASASTRA V PUSPARAGAM PEMIKIRAN KEBUDAYAAN BALI
SINOPSIS
Buku Sarasastra V: Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali ini mengangkat tema utama perihal pertanian Bali. Beragam teks-teks pertanian sejenis Dharma Pamaculan, Kramaning Pari, Usadha Sawah, diwarisi di Bali. Boleh jadi titik peradaban agraris itu dimulai dari peradaban “catur bhaga”, terbangun dari warisan geodesi empat danau Bali. Dari sinilah pola pengairan Bali digagas hingga mewariskan organisasi canggih bernama subak.
Catatan Raja Purana Pura Batur, memberi kita keterangan awal, nun di Danau Batur itu ada 11 pintu mata air disebut “buka”, tempat muncul dan mengalirnya mata air menuju beberapa sungai dan danau. Sungai dan danau ini mengairi persawahan seantero Bali, meliputi; Kabupaten Buleleng, Bangli, Klungkung, Karangasem, Gianyar, Badung, serta Tabanan.
Sebelas “buka” dimaksud tak ubahnya saluran darah, mengantar sari makanan ke seluruh tubuh. Entah, kenapa 11 “buka” di Danau Batur itu ibarat saluran darah, di mana dalam perjalanannya menembus sungai bawah tanah, menyalurkan “nutrisi” ke seluruh dataran pulau.
Kesebelas “buka” yang disebut Raja Purana Batur ini meliputi: “Buka” Telaga Waja, terletak di timur Danau Batur, di antara Desa Abang dan Buahan, mengalirkan air ke Sungai Telaga Waja, meletas di sebelah timur Desa Rendang, mengairi sawah-sawah di Kabupaten Karangasem.
“Buka” Bantang Anyud, letaknya tak jauh dengan Sungai Telaga Waja, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Tukad Pipis (Tukad Jinah) dan Sungai Tukad Bubuh di Kabupaten Klungkung. “Buka” Danu Gadang, letaknya tak jauh dengan Bantang Anyud, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Tukad Bubuh di antara perbatasan Klungkung dan Gianyar. “Buka” Danu Kuning, berdekatan dengan Danu Gadang, mengalirkan air Danau Batur ke Sungai Campuhan, Gianyar.
“Buka” Pelisan, terletak di sebelah barat Danau Batur, tak jauh dari Desa Kedisan. Di sini terdapat tiga “buka” yang mengalirkan air Danau Batur ke Danau Beratan di Desa Candi Kuning. Selanjutan air Danau Beratan mengairi persawahan di Kabupaten Tabanan dan Badung. “Buka” Rejeng Anyar, letaknya di tepi barat Danau Batur, mengalirkan air Danau Batur ke sejumlah sungai yang ada di Kabupaten Buleleng, utamanya ke wilayah Tejakula.
Di samping sejumlah “buka” yang disebutkan Purana Pura Ulun Danu, ada juga “buka” yang difungsikan sebagai tempat memohon air suci. Di antaranya, Tirta Mas Mampeh, terletak di tepi barat Danau Batur, tak jauh dengan “Buka” Pelisan. Sumber mata air ini menjadi tempat memohon air suci disebut tirta pabersihan, terutama dalam upacara panangkeb dan panglanus di sawah. Selain itu, tempat ini juga merupakan tempat pesucian Ida Bhatara Sasuhunan Sakti Makalihan yang bestana di Pura Ulun Danu Batur.
Selain Tirta Mas Mampeh, ada juga mata air disebut Tirta Mangening, letaknya di tepi barat Danau Batur, tak seberapa jauh dengan Pura Jati. Di tempat ini masyarakat Bali memohon air suci disebut tirta pabersihan, terutama untuk upacara di Pura Ulun Danu Batur-Kalanganyar.
Yang terakhir adalah Tirta Bungkah, merupakan sumber air panas, tempat masyarakat memohon kesembuhan. Diyakini mata air ini menyembuhkan sejumlah penyakit. Pada intinya semua buka tersebut menjadi sumber apa yang kemudian disebut tirta Ulun Danu Batur. Tirta ini terutama digunakan untuk menanggulangi hama dan hal-hal yang berhubungan dengan upacara di sawah, semisal upacara nangluk merana, upacara nglanus dan sebagainya.
Secara sosio-religius Danau Batur tak ubahnya tali pusar pengintegrasi subak-subak di Bali. Empat danau di wilayah hulu Bali yang disucikan ini membentangkan terbangunnya suatu peradaban air sejak zaman Bali purba. Peradaban ini juga lazim disebut peradaban “catur baga”, artinya peradaban empat danau.
Memang sebelum nantinya orang Bali berorientasi ke laut, orang Bali kuna menjadikan danau sebagai orientasi kehidupannya. Maka ungkapan “segara danu” adalah ungkapan lazim dalam peradaban catur baga ini. Di pusat peradaban ini pasti terbangun bagaimana orang Bali melakukan penghormatan pada air. Apa yang kemudian digelar sebagai upacara danu kertih, boleh jadi merupakan kelanjutan dari “doa akbar” pemuliaan air. Dan saban tahun, saat usabha Batur, krama subak mengaturkan sawinih kehadapan Bhatara di Batur – wilayah yang telah menganugerahi kesuburan sawah sawah Bali.
Disinyalir, orientasi hidup masyakarat Bali Kuna pada awalnya terbangun di wilayah sekitar empat danau ini ─ sebelum nantinya, di zaman Majapahit, orientasi hidup masyaratak non tani bergeser ke pesisir, di mana kemudian dibangun pusat-pusat pengintegrasi sosio kultural Pura Sagara dan Pura-Pura lain sebagai benteng “rohani” masyarakat Bali.
Belakangan di zaman raja-raja Bali Kuna barulah kita menemukan jejak-jejak tertulis di sejumlah prasasti Bali tentang bagaimana air dikelola untuk organisasi tradisi yang disebut subak ─ satu kultur agraris yang kini tengah dirundung senja kala. Tengoklah misalnya data yang diberikan Prasasti Trunyan, disitu ditemukan kata ‘serdanu’ yang diduga sebagai jabatan untuk Kepala Urusan Air Danau. Boleh jadi, dari sini kata “ser” berkembang kemudian menjadi ‘pakaseh’, julukan untuk pengurus subak di Bali.
Sementara menurut data-data resmi prasasti Bali, kata subak misalnya, berasal-usul dari kata “suwak”, satu wilayah yang di masa lalu disebut sebagai “kasuwakan”. Kata ini tercatat dalam prasasti Pandak Badung yang dikeluarkan raja Anak Wungsu pada tahun 1071 Masehi. Data yang sama juga termaktub dalam prasasti Banjar Celepik, Desa Tojan, Klungkung, prasasti Pangotan, Bangli, dan Prasasti Bwahan, Kintamani, Bangli.
Namun apapun kondisi yang tergambar kini, berhadapan dengan alih fungsi lahan yang masif, Bali pernah mencatat masa gemilang ─ pulau yang mewariskan tradisi pertanian holistik, didukung managemen air terpadu disebut subak dengan sistem pembagian air berkeadilan disebut tali kunda. Dari sungai bawah tanah “buka”, air mengalir ke sungai-sungai, melajur ke telabah-telabah, melewati jelingjingan lalu menghasilkan sawah-sawah subur, yang dijaga ketat tindakan etis “dharma pamaculan”.

PENULIS
Putu Gede Sridana, I Wayan westa, Anak Agung Gde Alit Geria, I Ketut Suamba, I Nyoman Drena, Ida Bagus Budayoga, Sumiyati, Euis Dewi Yuliana, IGA Darma Putra, Putu Eka Guna Yasa, Ida Pedanda Gede Purwa Dwija Singharsa, IK Eriadi Ariana, I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, Cokorda Gde Bayu Putra.

EDITOR:
I Gusti Agung Paramita

Jumlah Halaman: 166 hal
Ukuran buku: 14.8 x 21 cm
ISBN (masih dalam proses)
Harga (opsional)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *